Sejak disahkan pada tahun 2020, Undang-Undang Ciptaker atau Cipta Kerja (UU 11/2020) menjadi sorotan publik nasional. UU tersebut berusaha untuk menyederhanakan regulasi di Indonesia dalam upaya untuk meningkatkan investasi dan menciptakan banyak lapangan kerja. Namun, dampak pengesahan UU Ciptaker tidak sepenuhnya positif bagi para buruh di Sumatera Utara. Bahkan, kehidupan para buruh semakin sulit.
Dalam artikel ini, kami akan membahas permasalahan buruh di Sumatera Utara. Kami juga akan membahas peraturan-peraturan dalam UU Ciptaker yang menjadi kontroversi dan berdampak negatif bagi para buruh.
1. Pengurangan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP)
Hak untuk mendapatkan jaminan kehilangan pekerjaan (JKP) menjadi kekhawatiran para buruh di Sumatera Utara setelah disahkannya UU Ciptaker. Sebelum UU Ciptaker, buruh di Sumatera Utara dapat memperoleh JKP sebesar enam kali gaji jika mereka terkena PHK atau pemutusan hubungan kerja. Namun, UU Ciptaker mengatur bahwa JKP hanya dapat diberikan kepada buruh yang telah bekerja selama 24 bulan.
Hal ini membuat para buruh khawatir jika terjadi PHK sebelum 24 bulan bekerja, mereka tidak akan mendapatkan JKP seperti yang telah diatur sebelumnya. Ironisnya, banyak buruh di Sumatera Utara yang bekerja secara kontrak selama dua tahun atau lebih, namun kontrak mereka tidak diperpanjang setelah masa kerja tersebut, dan berpotensi untuk tidak menerima JKP sebagaimana mestinya.
2. Insentif Investasi
UU Ciptaker dikatakan sebagai alat untuk mendorong investasi di Indonesia. Namun, para buruh di Sumatera Utara melihat konsekuensi dari insentif ini. Tidak jelas, jika investasi yang diterima dapat menghasilkan banyak lapangan kerja yang sesuai dengan keterampilan para buruh di Sumut. Selain itu, banyak buruh yang tidak menemukan lapangan kerja yang cocok dan merasa terpaksa menjadi buruh upah murah.
Buruh Sumut juga khawatir dengan langkah pemerintah untuk memberikan insentif pajak kepada perusahaan yang mempekerjakan buruh dengan upah yang besar. Apakah pemerintah mempertimbangkan kesejahteraan buruh dalam pelaksanaan insentif ini? Para buruh khawatir bahwa perusahaan akan mempekerjakan pekerja jangka pendek dengan upah rendah demi memenuhi target insentif tersebut.
3. Penghapusan Upah Minimum Provinsi
Upah Minimum Provinsi (UMP) merupakan salah satu hak penting bagi para buruh di Sumatera Utara. UMP memastikan bahwa upah buruh bersifat wajar dan mempertimbangkan tren inflasi dan kenaikan harga-harga barang kebutuhan pokok. Namun, dengan penghapusan UMP dalam UU Ciptaker, pemerintah memberikan kebebasan pada pihak perusahaan untuk menentukan upah pekerja, dan hal ini menimbulkan ketidakpastian bagi para buruh.
Dalam hal ini, perusahaan dapat mengeluarkan upah yang rendah dan merugikan kesejahteraan buruh. Beberapa perusahaan mungkin juga menerapkan upah harian, sehingga buruh yang kehilangan pekerjaan tidak bisa menerima hak cuti dan tunjangan kesehatan yang biasanya diberikan pada buruh tetap. Dampak penghapusan UMP pada buruh Sumut sangat besar dan memperburuk kesejahteraan mereka.
4. Perizinan Proyek
Sebelum UU Ciptaker, sebuah proyek konstruksi atau industri baru membutuhkan sejumlah perizinan dan ijin. Meskipun memakan waktu dan biaya, perizinan ini menjamin bahwa para buruh yang terlibat dalam proyek tersebut bisa mendapatkan tunjangan dan keamanan kerja yang layak. Namun, UU Ciptaker mengatur bahwa beberapa jenis proyek tertentu tidak lagi memerlukan perizinan dari instansi terkait.
Dengan penghapusan perizinan ini, banyak buruh Sumut yang berpotensi kehilangan tunjangan dan keamanan kerja. Mereka juga terancam oleh implikasi yang lebih besar: jika sebuah proyek dikerjakan tanpa perizinan, apakah ada jaminan bahwa perusahaan pihak ketiga akan memenuhi hak-hak pekerja mereka? Para buruh Sumut merasa sangat rentan dalam situasi ini.
5. Persaingan Kerja
UU Ciptaker juga mengatur persaingan kerja di Indonesia. Banyak buruh Sumut merasa terancam oleh persaingan di antara para pekerja yang dibuka oleh UU Ciptaker. Untuk melindungi kesejahteraan buruh, perusahaan diharuskan memperhatikan upah yang setara untuk pekerja yang sama dengan keterampilan serupa.
Namun, para buruh khawatir bahwa persaingan yang tinggi dapat memberikan kesempatan pada pengusaha untuk memberikan upah yang lebih rendah. Dalam kasus ini, buruh Sumut dihadapkan pada pilihan sulit: menerima pekerjaan dengan upah rendah atau tidak mendapatkan pekerjaan sama sekali.
6. Kebebasan Berkontrak
Sebelum UU Ciptaker, kontrak kerja di Sumatera Utara dibatasi maksimal 2 tahun. Namun, UU Ciptaker mengatur bahwa kontrak kerja dapat digunakan atas kesepakatan kedua belah pihak dengan jangka waktu sampai dengan 5 tahun.
Dalam hal ini, buruh Sumut merasa kehilangan kontrol atas masa depan kerja mereka karena mereka tidak dapat berharap untuk mendapatkan pekerjaan tetap setelah kontrak berakhir. Para buruh tanpa pengalaman dan keterampilan yang diperlukan oleh perusahaan akan berisiko kehilangan pekerjaan dengan kontrak yang sangat jangka panjang.
Kesimpulan
Hasil dari UU Ciptaker memperlihatkan keadaan yang memperburuk kehidupan buruh di Sumut. Sebagaimana pengaturan dalam UU Ciptaker yang kontroversial, buruh Sumut merasa ketidakpastian dan tidak terjamin keamanannya dalam hal status dan kualitas kerja. Saat ini, mereka terus bergumul dalam situasi sulit ini dan terus berjuang mendapatkan hak-hak mereka sebagai buruh tetap di Sumut.
Original Post By Dmarket