Sistem Pemilu Proporsional Terbuka Mengamputasi Kelembagaan Partai Politik

Pemilihan umum atau pemilu merupakan salah satu mekanisme penting dalam demokrasi. Di Indonesia, sistem pemilu yang digunakan adalah sistem proporsional terbuka (PPT) atau proportional representation (PR) dalam bahasa Inggris. Sistem PPT mengharuskan partai politik untuk memperoleh perolehan suara tertentu dalam pemilu untuk mendapatkan kursi di parlemen. Namun, sistem PPT ini ternyata menimbulkan masalah seperti kelembagaan partai politik yang besar dan kurangnya representasi publik. Oleh karena itu, pada pemilu 2019, dilakukan perubahan sistem PPT untuk mengamputasi kelembagaan partai politik.

Apa yang dimaksud dengan sistem PPT? Sistem PPT adalah sistem pemungutan suara yang digunakan dalam pemilu legislatif. Di dalam PPT, pemilih dapat memilih partai politik yang mereka inginkan, bukan hanya kandidat yang disodorkan oleh partai politik. Selain itu, sistem PPT juga memberikan jaminan bahwa partai politik yang memperoleh suara tertentu akan mendapatkan kursi di parlemen sesuai dengan perolehan suaranya.

Meskipun sistem PPT memberikan kesempatan representasi yang lebih luas bagi partai politik, namun sistem ini juga menimbulkan beberapa masalah. Salah satu masalah terbesar adalah kelembagaan partai politik yang besar dan tidak terwakili. Dalam sistem PPT, partai politik yang ingin memperoleh kursi di parlemen harus memperoleh suara minimal 3,5%. Hal ini menimbulkan partai politik untuk terus berjuang agar bisa memperoleh suara yang memenuhi ambang batas tersebut. Sebab apabila partai politik tidak berhasil memperoleh suara ambang batas swing vote, maka akan kehilangan kesempatan mendapatkan kursi di parlemen.

Dalam sistem PPT, partai politik juga membentuk struktur kelembagaan yang besar agar dapat memenangkan pemilu pada setiap periode. Struktur kelembagaan ini menimbulkan birokrasi dan korupsi internal yang dapat mengorbankan kepentingan publik. Dalam rangka untuk mengatasi masalah ini, maka dilakukan perubahan sistem PPT di Indonesia pada pemilihan umum 2019.

Perubahan sistem PPT menjadi sistem pemilu proporsional terbuka daerah pemilihan (PPT-DPR). Sistem PPT-DPR memiliki perbedaan dengan sistem PPT konvensional, dimana partai politik tidak lagi diwajibkan memperoleh suara ambang batas sebesar 3,5% di tingkat nasional. Namun, partai politik harus memperoleh suara ambang batas tertentu di daerah pemilihan yang ditentukan, yaitu 4% untuk daerah pemilihan dengan 10 kursi atau lebih, dan 6% untuk daerah pemilihan dengan 5 sampai dengan 9 kursi.

Dengan perubahan sistem PPT-DPR, diharapkan dapat menyelesaikan masalah kelembagaan partai politik yang besar dan kurangnya representasi publik. Partai politik akan berjuang memperoleh suara dari daerah pemilihan tertentu, yang mewakili kepentingan daerah tersebut. Sistem PPT-DPR juga dapat mendorong terbentuknya partai politik lokal yang dapat melingkupi kepentingan masyarakat di daerah tertentu.

Namun, ada beberapa kelemahan dari sistem PPT-DPR. Pertama, sistem ini dapat menimbulkan fragmentasi politik dan mengurangi stabilitas politik. Kedua, kepentingan nasional dapat terabaikan jika terlalu banyak partai politik lokal yang terpilih. Terakhir, perlindungan hak minoritas dapat terancam jika partai politik yang memperoleh suara mencapai ambang batas minimal di daerah tersebut.

Dalam rangka menjaga stabilitas politik dan mendorong representasi publik yang baik, maka perlu dilakukan beberapa penyesuaian dari sistem PPT-DPR. Rancangan sebelumnya yang disetujui oleh DPR sebagai revisi UU Pemilihan Umum tersebut berisi bahwa partai politik minimal memperoleh 20% calon atau lima orang perempuan pada susunan tokoh di daerah pemilihan. Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini juga mempertanyakan adanya kuota minimal tersebut, karena dianggap sulit memperoleh calon perempuan yang memiliki kualitas dan elektabilitas yang tinggi.

Terkait dengan penyesuaian sistem PPT-DPR, maka disepakati bahwa partai politik harus memperoleh suara minimal sebesar 7% dalam pemilu 2019 untuk dapat memiliki fraksi di DPR. Keputusan ini diambil untuk menguatkan kelembagaan dan stabilitas politik.

Perubahan sistem PPT-DPR pada pemilu 2019 telah mengamputasi kelembagaan partai politik yang besar dan kurangnya representasi publik. Namun, perubahan ini masih memerlukan penyesuaian dan pengoptimalan yang lebih baik agar dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Dengan demikian, sistem PPT-DPR belum sepenuhnya memadai sebagai mekanisme yang mampu mendorong representasi publik yang baik dan kestabilan politik yang optimal.

Sebagai kesimpulan, sistem pemilu proporsional terbuka dengan kelembagaan partai politik yang besar dan fragmentasi dapat menimbulkan masalah representasi publik. Oleh karena itu, perubahan sistem pemilu menjadi sistem PPT-DPR diharapkan dapat mendorong representasi publik yang lebih baik dan lebih luas. Namun, perubahan ini masih membutuhkan pengoptimalan dan penyesuaian yang lebih baik agar dapat mencapai tujuan yang diinginkan.

Original Post By Dmarket